JAKARTA, Indonesia (AP) – Undang-undang Indonesia yang melarang ekspor mineral yang belum diolah mulai berlaku pada hari Minggu, dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan operasi lokal dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja serta memperingatkan perusahaan pertambangan terhadap kerugian dan PHK.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani keputusan tersebut seusai rapat anggota kabinet Sabtu malam. Hal ini dilakukan setelah negosiasi intensif selama berhari-hari yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan pakar untuk mencari cara mengurangi dampak larangan tersebut.
Kementerian Keuangan telah memerintahkan petugas bea cukai di pelabuhan-pelabuhan di seluruh negeri untuk memantau semua kegiatan ekspor untuk memastikan tidak ada bijih yang dikirim mulai hari Minggu.
Rajasa tidak menyebutkan pengecualian apa pun, namun mengatakan keputusan tersebut mempertimbangkan kekhawatiran mengenai pencegahan PHK massal, mendorong pembangunan ekonomi lokal, dan memungkinkan perusahaan pertambangan lokal untuk terus beroperasi. Ia menambahkan, sejumlah peraturan akan dikeluarkan kementerian terkait pelaksanaannya.
Larangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Pertambangan yang disahkan DPR pada tahun 2009, yang memuat ketentuan bahwa bijih mineral harus diolah di smelter di Indonesia mulai 12 Januari 2014.
Perusahaan pertambangan, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, telah memperingatkan bahwa mereka harus memberhentikan ribuan pekerja jika undang-undang tersebut diberlakukan tanpa pengecualian.
“Jika larangan ekspor diberlakukan pada 12 Januari, Freeport hanya dapat memproses 40 persen produksinya,” kata Daisy Primayanti, juru bicara Freeport Indonesia, yang mengoperasikan tambang raksasa di provinsi Papua, Indonesia. “Salah satu dampaknya adalah berkurangnya jumlah pegawai.”
Menteri Pertambangan dan Energi Jero Wacik mengatakan departemen pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan yang menguraikan ketentuan larangan tersebut, termasuk tarif pajak ekspor dan tingkat minimum konsentrat yang diperbolehkan untuk ekspor.
Kementerian mengusulkan pengecualian selama tiga tahun yang memungkinkan perusahaan mengekspor mineral yang belum diolah hingga tahun 2017 asalkan mereka berkomitmen untuk membangun smelter di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi ratusan perusahaan pertambangan kecil dari bisnis mereka.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan hingga tahun 2017 perusahaan masih diperbolehkan mengekspor konsentrat dengan kadar pemurnian tertentu, namun harus membayar pajak ekspor.
“Kami akan mengenakan pajak ekspor progresif, artinya semakin tinggi tingkat pemurnian maka pajak ekspornya akan semakin rendah,” kata Hidayat.
Marius Toime, mitra di firma hukum internasional Berwin Leighton Paisner, mengatakan undang-undang tersebut mungkin menimbulkan masalah lain karena akan mengurangi pendapatan dari pajak ekspor, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan melebarnya defisit transaksi berjalan pemerintah.
“Defisit ini, ditambah dengan ketidakpastian hukum mengenai konsekuensi larangan tersebut, telah melemahkan kepercayaan investor,” kata Toime. Ia menambahkan, secara ekonomi tidak layak bagi perusahaan pertambangan kecil di Indonesia untuk mengembangkan kapasitas pengilangan.
Pemerintah memperkirakan larangan tersebut akan mengurangi pendapatan pemerintah sekitar 10 triliun rupiah ($833 juta) tahun ini karena penurunan pajak ekspor dan royalti.